Sulit sekali memang
merahasiakan sesuatu darimu, Kawan. Tadinya saya ingin menyimpan
cerita perjalanan rahasia ini seorang diri. Tapi tidak jadi karena
ada banyak pesan di dalamnya yang baik untuk dibagikan.
Libur lebaran tahun
ini, saya putuskan untuk mengunjungi Pak Soesilo Toer, yang lebih
akrab dipanggil Pak Soes itu, di Kota Blora, Jawa Tengah. Berangkat
dengan pesawat, turun di Semarang, kemudian melanjutkan perjalanan
dengan mobil kurang lebih sekitar lima jam.
Sebenarnya saya
sudah pernah bertemu Pak Soes sebelumnya di Jakarta beberapa waktu
lalu. Tapi saya kurang puas, saya butuh waktu lebih lama lagi untuk
berdialog dengan beliau. Dan tanpa banyak persiapan, dengan modal
nekat, saya berangkat.
Pak Soes tinggal di
sebuah rumah sederhana yang juga merupakan rumah masa kecil sang
kakak, Pramoedya Ananta Toer yang sangat melegenda itu. Sesampainya
saya di depan pagar, terlihat pagarnya terikat oleh sebuah tali
berwarna putih. Saya kira sedang tak ada orang di rumah, akhirnya ada
seorang tetangga yang bilang, “Dibuka saja, Mbak, masuk saja, ndak
apa-apa,” dengan logat jawa asli.
Saya buka talinya,
kemudian masuk. Ada beberapa ekor kambing di sana. Langsung saya
mengerti mengapa pagarnya diikat dengan tali. Tentu saja agar
kambing-kambing itu tak kabur ke mana-mana. Ah, Tsana, mengapa baru
terpikirkan.
Tak lama saya
langsung disambut oleh anak Pak Soes. Ternyata Pak Soes belum
pulang dari acara undangan perkumpulan mahasiswa. Tak jadi masalah
untuk menanti beliau. Duduk manis di sebuah rumah yang ingin sekali
saya gotong ke Jakarta untuk menjadi rumah saya. Bila kau tak tahu,
rumahnya terdapat sebuah perpustakaan. Kau bisa datang kapan saja,
untuk berbincang dengan beliau, atau sekadar membaca buku.
Terpajang di sana foto-foto
Pram dan juga Pak Soes, lukisan juga sketsa, dan tumpukan buku yang tak lagi bisa
ditampung di rumah sederhana itu. Selagi menanti Pak Soes datang,
saya banyak bicara dengan anaknya yang ternyata juga anak elektro.
Nah, nyambung, kan.
“Tapi Bapak masih
menulis kan, Mas?” tanyaku.
“Masih, Mbak, tentu saja.”
“Masih pakai mesin tik?”
“Oh, ndak… sekarang menulis di kertas, kadang sambil tiduran, kadang sambil duduk, kalau sudah selesai nanti saya yang mengetik tulisan bapak.”
“Masih, Mbak, tentu saja.”
“Masih pakai mesin tik?”
“Oh, ndak… sekarang menulis di kertas, kadang sambil tiduran, kadang sambil duduk, kalau sudah selesai nanti saya yang mengetik tulisan bapak.”
“Ibu ke mana,
Mas?”
“Sedang di Yogyakarta, Mbak, ini saja saya baru pulang dari Semarang,”
“Berarti bapak pergi sendiri?”
"Iya, biasanya saya temani, tapi pas jadwalnya bentrok..”
“Sedang di Yogyakarta, Mbak, ini saja saya baru pulang dari Semarang,”
“Berarti bapak pergi sendiri?”
"Iya, biasanya saya temani, tapi pas jadwalnya bentrok..”
Setelah sekitar satu
jam, Pak Soes datang. Menenteng jaketnya, mengenakan batik, beliau
berjalan masuk ke dalam menghampiri saya dan langsung menyapa, “Sudah
lama menunggu, Mbak?”
“Belum, Pak, tadi baru sampai jam dua,”
“Ah itu lama, sekarang saja sudah jam tiga,”
“Nggak kerasa kok, Pak, bapak dari mana memangnya?”
“Biasa… urusan penting. Kan saya rektor; ngorek yang kotor-kotor (memulung) ahahaha...” jawab beliau terkekeh tanpa merasa terbebani.
Beliau meletakkan jaketnya, lalu duduk di bangku kesayangannya, “Mbak dari mana?”
“Jakarta, Pak,”
“Wah, Jakarta, ya. Kamu tahu penjual ikan hias dekat pabrik obat?”
“Belum, Pak, tadi baru sampai jam dua,”
“Ah itu lama, sekarang saja sudah jam tiga,”
“Nggak kerasa kok, Pak, bapak dari mana memangnya?”
“Biasa… urusan penting. Kan saya rektor; ngorek yang kotor-kotor (memulung) ahahaha...” jawab beliau terkekeh tanpa merasa terbebani.
Beliau meletakkan jaketnya, lalu duduk di bangku kesayangannya, “Mbak dari mana?”
“Jakarta, Pak,”
“Wah, Jakarta, ya. Kamu tahu penjual ikan hias dekat pabrik obat?”
Saya terdiam
sebentar. Jelas saja ada banyak pabrik obat di Jakarta, apalagi
penjual ikan hias. Akhirnya saya hanya menjawab, “Ndak tau,
Pak...”
“Jadi, begini, Mbak. Dulu, teman satu penjara dengan saya, pernah meminjam uang, untuk modal katanya. Padahal ketika itu saya berhasil mengumpulkan setengah juta dari hasil menjual kain lurik, saat belum lama keluar dari penjara dan tak memiliki uang sama sekali. Lalu akhirnya saya pinjamakan sekitar 300 ribu, dengan balasan katanya ia akan membawakan saya banyak kain bernilai jual tinggi sekembalinya nanti.”
“Lalu dia kembali, Pak?”
“Kembali. Membawakan saya banyak kain yang akhirnya saya bawa pulang ke rumah, berhubung hari juga sudah gelap. Esoknya saya baru sadar, ternyata kainnya itu BS (barang sortiran)! Ahahahahaha...” lanjut Pak Soes sambil tertawa.
“Bapak ndak mau, dong?”
“Ya, ndak mau! Mana laku dijual?”
“Terus kainnya diapakan, Pak?”
“Ya saya simpan. Habis, ketika saya ingin kembalikan dia tak bisa mengganti. Nah sekarang ini, dia sudah jadi penjual ikan hias di Jakarta.”
“Jadi, begini, Mbak. Dulu, teman satu penjara dengan saya, pernah meminjam uang, untuk modal katanya. Padahal ketika itu saya berhasil mengumpulkan setengah juta dari hasil menjual kain lurik, saat belum lama keluar dari penjara dan tak memiliki uang sama sekali. Lalu akhirnya saya pinjamakan sekitar 300 ribu, dengan balasan katanya ia akan membawakan saya banyak kain bernilai jual tinggi sekembalinya nanti.”
“Lalu dia kembali, Pak?”
“Kembali. Membawakan saya banyak kain yang akhirnya saya bawa pulang ke rumah, berhubung hari juga sudah gelap. Esoknya saya baru sadar, ternyata kainnya itu BS (barang sortiran)! Ahahahahaha...” lanjut Pak Soes sambil tertawa.
“Bapak ndak mau, dong?”
“Ya, ndak mau! Mana laku dijual?”
“Terus kainnya diapakan, Pak?”
“Ya saya simpan. Habis, ketika saya ingin kembalikan dia tak bisa mengganti. Nah sekarang ini, dia sudah jadi penjual ikan hias di Jakarta.”
Baru datang saja
beliau sudah menyuguhkan cerita yang begitu seru, yang membuat saya
tak butuh waktu lama untuk merasa dekat dengan beliau.
“Eh ya, Mbak, siapa namamu?”
“Tsana, Pak...”
“Apa artinya?”
“Dalam bahasa arab, artinya pujian, Pak...”
“Ini, minum dulu, Tsana,”
“Eh ya, Mbak, siapa namamu?”
“Tsana, Pak...”
“Apa artinya?”
“Dalam bahasa arab, artinya pujian, Pak...”
“Ini, minum dulu, Tsana,”
Beliau memberi saya
minuman sari jambu, juga kurma nabi. Pak Soes menceritakan asal mula kurma
nabi yang berujung menjadi sebuah cerita lucu. Juga ketika beliau
menjadi kuli di kutub utara, membangun jembatan sepanjang lima
kilometer, dan bercerita tentang pengalamannya selama di penjara
Orba. Beliau bercerita, di dalam penjara, ia dan teman-temannya
menanam bayam yang besar-besar. Ia dapat tugas menyiram. Dan tiap dua
bulan sekali, dipanen. Nah, teman sepenjaranya yang kini berjualan
ikan hias itu, dulu yang paling pintar memasak, katanya.
“Tsana, kamu
kuliah? Apa kerja?”
“Kuliah, Pak, teknik elektro semester lima...”
Beliau kaget, “Hah! Elektro? Sudah pernah tersetrum belum?”
“Sudah, Pak, sering...”
“Kalau disetrum laki-laki sudah apa, belum? Hahahahahah,” tanya beliau lagi dengan tertawa.
“Ah! Pak Soes, mengejek… saya belum ada menyetrum nih...”
Kami berdua saling tertawa. Setelah itu bicara tentang buku yang sedang ia tulis sekarang.
“Masih dalam proses pengerjaan, Tsana, kini saya lebih memikirkan kearifan lokal. Kau tahu, kan, mengapa Hitler bisa mati?”
“Karena ia tak mementingkan kearifan lokal….”
“Kuliah, Pak, teknik elektro semester lima...”
Beliau kaget, “Hah! Elektro? Sudah pernah tersetrum belum?”
“Sudah, Pak, sering...”
“Kalau disetrum laki-laki sudah apa, belum? Hahahahahah,” tanya beliau lagi dengan tertawa.
“Ah! Pak Soes, mengejek… saya belum ada menyetrum nih...”
Kami berdua saling tertawa. Setelah itu bicara tentang buku yang sedang ia tulis sekarang.
“Masih dalam proses pengerjaan, Tsana, kini saya lebih memikirkan kearifan lokal. Kau tahu, kan, mengapa Hitler bisa mati?”
“Karena ia tak mementingkan kearifan lokal….”
Dari jawaban saya,
Pak Soes langsung memberi sebuah pernyataan mengagetkan sekaligus
membuat saya bangga, “Kamu suka baca, ya?”
“Hah? Kok tau, Pak?”
“Jelas, tau! Karena biasanya, yang sering ke sini dan saya tanyakan seputar Hitler, tak ada yang bisa menjawab,”
Kemudian beliau langsung menebak lagi, “Apa kau penulis, jangan-jangan?”
“Ah, bukan, Pak, bukan.”
“Tapi menulis buku, kan?”
Saya cuma menjawab dengan senyuman.
“Hah? Kok tau, Pak?”
“Jelas, tau! Karena biasanya, yang sering ke sini dan saya tanyakan seputar Hitler, tak ada yang bisa menjawab,”
Kemudian beliau langsung menebak lagi, “Apa kau penulis, jangan-jangan?”
“Ah, bukan, Pak, bukan.”
“Tapi menulis buku, kan?”
Saya cuma menjawab dengan senyuman.
“Berarti harusnya saya yang minta foto sama kamu, Tsana,”
Saya langsung
tertawa mendengarnya, “Haahahahahaha, apasih Pak… saya ini
amatiran,”
“Loh saya pun amatiran. Pram yang profesional, saya mah tidak.”
“Kalau amatirannya seperti Pak Soes, saya belum apa-apa berarti.”
“Loh saya pun amatiran. Pram yang profesional, saya mah tidak.”
“Kalau amatirannya seperti Pak Soes, saya belum apa-apa berarti.”
“Ndak. Kamu
penulis muda dan gila membaca. Hebat. Terus berkarya, Tsana.”
“Saya bukan penulis, Pak. Selamanya bukan. Saya hanya menulis.”
“Iya. Itu maksudku. Kamu menulis untuk dirimu sendiri. Dan itu bagian hebatnya.”
“Saya bukan penulis, Pak. Selamanya bukan. Saya hanya menulis.”
“Iya. Itu maksudku. Kamu menulis untuk dirimu sendiri. Dan itu bagian hebatnya.”
Saya merinding
ketika mendengar beliau bicara begitu. Saya merasa bukan apa-apa.
Saya jauh sekali dari beliau. Tapi tak saya sangka beliau juga sama
seperti saya, merasa bukan apa-apa. Mungkin ini sebabnya saya mudah
merasa terkoneksi dengan beliau.
Ada banyak yang kami
bicarakan. Dialog yang tak akan saya sampaikan di sini, agar kau
sendiri yang datang ke sana untuk mendengar beliau menceritakannya
langsung padamu. Seperti masa kecil beliau dan Pram. Kisah haru
selama di penjara. Juga tentang laki-laki dan percintaan (yang ini benar-benar rahasia, maaf tak bisa memberi tahu).
“Tsana, kamu tahu
mengapa kita hanya perlu menguasi setengah dunia?”
“Karena itu terlalu jauh dari jangkauan manusia?”
“Bukan, Tsana, karena kutub selatan dan kutub utara tidak ada orangnya. Hahahahaha...”
“Ah, Pak Soes, saya sudah berpikir keras padahal,”
“Kamu tahu, ndak? Walau cuma jadi kuli, saya ini sudah pernah menginjakkan kaki ke kutub utara,” serunya bangga.
“Karena itu terlalu jauh dari jangkauan manusia?”
“Bukan, Tsana, karena kutub selatan dan kutub utara tidak ada orangnya. Hahahahaha...”
“Ah, Pak Soes, saya sudah berpikir keras padahal,”
“Kamu tahu, ndak? Walau cuma jadi kuli, saya ini sudah pernah menginjakkan kaki ke kutub utara,” serunya bangga.
Saya yang mendengar,
tak bisa berhenti kagum walau sedetik saja, “Hebat, Pak Soes.
Keren. Saya mah apa. Saya belum pernah ke mana-mana.”
“Tapi kamu membaca buku, Tsana, duniamu lebih luas dari mereka yang menjelajah dunia.”
“Tapi kamu membaca buku, Tsana, duniamu lebih luas dari mereka yang menjelajah dunia.”
Saya tersenyum. Ada
rasa bangga dalam diri saya. Entah mengapa, senang membaca selalu
menjadi kebanggan terbesar dalam hidup. Terdengar aneh, memang, tapi
ini adanya. Dan selagi membahas tentang buku, saya hampir lupa akan
tujuan saya ke sini; meminta tanda tangan beliau.
“Eh, Pak, sampai
lupa. Saya mau minta tanda tangan,”
“Oh.. iya sini-sini,”
Saya memberikan pena… lalu… tinta penanya bocor…. Sempat malu, tapi saya berusaha apa adanya saja. Beliau yang membersihan tangannya yang terkena tinta berkata, “Ah kamu ini, Tsana. Cantik-cantik kok ndak mau beli pena yang bagus.”
Sambil nyengir saya menjawab, “Ya… maapin ya pak… uangnya habis untuk beli buku.”
“Saya baru tahu novelis sepertimu humoris juga.”
“Oh.. iya sini-sini,”
Saya memberikan pena… lalu… tinta penanya bocor…. Sempat malu, tapi saya berusaha apa adanya saja. Beliau yang membersihan tangannya yang terkena tinta berkata, “Ah kamu ini, Tsana. Cantik-cantik kok ndak mau beli pena yang bagus.”
Sambil nyengir saya menjawab, “Ya… maapin ya pak… uangnya habis untuk beli buku.”
“Saya baru tahu novelis sepertimu humoris juga.”
Ahahahaha, kami
saling tertawa lagi dan lagi. Bahkan saya masih bisa merasakan betul
kehangatannya, hingga sekarang. Karena hari sudah gelap, saya minta izin pulang dan
tak dibolehkan, beliau bilang masih ada banyak cerita yang belum
diceritakan. Namun untungnya Pak Soes mengerti bahwa saya masih anak
gadis yang tak boleh keluyuran sendirian malam-malam. Dan sebelum
pulang, ketika sedang memakai sepatu, Pak Soes bilang, “Tsana, di
dunia yang semakin ramai ini, ingat kalimat Pram yang ini; Hidup
harus berani.”
Mendengar beliau bicara begitu selayaknya mendengar kicauan burung gereja setelah fajar menyapa. Menenangkan
sekali. Saya seperti sedang berbincang dengan eyang sendiri. “Tsana,
bilang pada teman-temanmu, jangan panggil saya eyang atau mbah, ndak
mau saya dipanggil begitu. Panggil saja dengan bung atau bro.
Ya?”
Saya menjawab dengan bersemangat, “Siap, Bung Soes!”
Saya menjawab dengan bersemangat, “Siap, Bung Soes!”
Beliau mengantar
saya sampai ke depan, “Hati-hati, Tsana. Saya ini ndak pandai
menghafal nama orang. Habis kamu pulang juga saya sudah lupa dengan namamu.
Tapi saya ingat momennya, itu yang penting.”
Saya mengangguk, mencium tangan beliau, dan akhirnya pulang.
Saya mengangguk, mencium tangan beliau, dan akhirnya pulang.
Tadinya saya
berencana untuk pulang keesokan harinya, tapi rencana itu saya
batalkan, saya masih ingin berlama-lama di kota ini, kota yang bahkan
tak ada gedung bioskop. Begitu tenang, damai, dan penuh kehangatan.
Ketika menulis ini pun, saya menginap di salah satu rumah Paklik dan Bulik (Paman dan Bibi) saya.
Sebuah rumah kecil di belakang sawah, yang lantainya masih dari tanah, yang
ketika malam lampunya berwarna jingga yang meredup, juga suara sapi
yang tak bisa berhenti terdengar di telinga saya karena kamar saya
bersebelahan dengan kandang sapi. Kota yang pukul lima pagi sudah
seperti pukul sepuluh pagi bila di Jakarta, dan kota yang pukul tujuh
malam sudah seperti pukul sepuluh malam di Jakarta. Begitu sunyi. Ah,
kini saya tahu di mana tempat terbaik untuk menua nanti...
Ini potret yang saya abadikan di dalam sebuah foto; tempat duduk kesayangan Pak Soes, tempat tulisan menakjubkan itu tercipta...
Saya iri kak Tsana :((
ReplyDeleteEntah kenapa, setiap membaca tulisan kakak rasanya tuh ngena banget, bisa dibilang baper lah kalo anak zaman sekarang. Cerita yang kakak suguhkan kepada kawan kawan selalu bisa membuat perubahan untuk orang lain. Selalu menjadi Tsana yang kawan kawan kenal. kami menyayangimu kak❤
ReplyDeleteTerharu, ingin rasanya bertemu Bung Soes juga :(. Aku sangat khidmat baca nya, sambil berimajinasi juga, ahaha. Ternyata arti nama kakak begitu istimewa, kakak begitu hangat dan ramah❣ Seperti biasa, salam peluk dari sini untuk ikan paus kesayanganπ❤
ReplyDeleteAs usual, selalu bermakna. Lanjutkan ka Tsana❤
ReplyDeleteKk tsana hebat betul orang nyaππ kk semoga kkk bisa seperti bapak tersebut ya kk. Memiliki tempat baca yang super duper keren. *kk titip salam buat biru yaa dari PADANGπ ✌
ReplyDeleteWah, Tsana, beruntungnya.
ReplyDeleteaku kehilangan kata-kata. sungguh. ini indah
ReplyDeleteAku pun tertawa dengan lelucon yg kak Tsan dan beliau lontarkan. Lucu sekali.
ReplyDeletePadahal kak Tsan baru bertemu dua kali(CMIIW) tapi aku bisa merasakan kehangatan yg terjalin di antara kak Tsan dan bung Soes seperti kawan lama yg berjumpa lagi. Mungkin memang watak bung Soes yg sumeh grapyak semanak(kalo dlm bahasa Indonesia : ramah) dan kak Tsan yg punya cara sendiri untuk menulis dari pengalaman berharganya yg membuat pembacanya terkesan. Jadi, obrolannya nyambung.
Semoga kak Tsan saat tua kelak bisa menjadi seperti bung Soes dan pak Pram. Menjadi panutan dan masih diingat dengan karyanya walau sudah berusia senja☺
Kamu dan Bung Soes memang humoris. Jujur saya ketawa2 sendiri baca dialog kalian. Sukses terus:)
ReplyDeleteKakak, setelah berkenalan dengan Nug dan Geez, entah mengapa, saya kemudian selalu ingin membaca novel, apalagi novel novel sastra seperti karya pak pram, saya ingin sekali membaca banyak novel,buku,atau apapun yang bisa menambah pengetahuan, terikasih kak Tsana, ikan Paus cantik nan baik hati. Saya sedang belajar menulis ceritaa..
ReplyDeleteKagum dengan Pak Soes. Terlebih kagum lagi dengan kak Tsana karena sudah mau meluangkan waktunya untuk berbagi pengalaman serta cerita yang sederhana namun penuh makna. Semangat selalu, novelis yang diam-diam humoris!❤
ReplyDeletekerenn
ReplyDeleteJanji akan lebih banyak membaca kak. Terimakasih telah berbagi kisahmu pada kami. Kak Tsana, suatu saat nanti saya akan bercerita pada anak dan cucu saya bahwa ada seorang ikan paus yang mengubah cara pandang orang-orang terhadap dunia yang semu ini. Teruslah berkarya kak Tsana. Semoga Allah melindungimu.
ReplyDeleteDaerah tepatnya di Blora mana ini kak?
ReplyDeleteKak Tsana, saya sungguh sungguh iri. Benar-benar iri. Tulisan kak Tsana selalu bisa membuat saya ikut terjun kedalam tulisannya. Bisa merasakan hangatnya obrolan antara pak soes dan kak Tsana. Dan berkat tulisan ini, saya pengen mencoba atau mungkin harus mencoba membeli novel bergenre teenfict yg saya beli. Ini yang terakhir, saya selalu suka tulisn kak Tsana, entah di blog, wattpad atau IG. Juga video yang kak Tsana bikin, saya sangat suka itu. Semangat terus kak Tsana!
ReplyDeleteSelalu dan selalu kagum denganmu, kak Tsana. Semoga selalu melahirkan cerita sederhana namun terlewat istimewa. Ditunggu cerita yang menakjubkan selanjutnyan, ya. ❤
ReplyDeleteSelalu ka tsana, selalu membut para pembacanya takjub akan tulisannya. Ah, tidak hanya tulisannya, tetapi juga momen indah penuh makna yang kakak alami. Entah masih ada ka tsana yang lain di dunia ini atau tidak. Tetapi, ka tsana yang ini jangan sampai menghilang dari dunia tulis menulis.karyamu terlalu indah kalau hanya dikenang ka:) semangat terus ka tsana♥️
ReplyDeleteRasanya seperti Kak Tsana sedang di sampingku dan menceritakan hal ini secara langsung, tanpa jeda, tanpa sekat, rasanya sungguh nyata. Teruslah bercerita, Kak. Semoga hal baik selalu menyertaimu.
ReplyDeleteAaaaa ingin mengenal bung soes seperti kak tsana,Aku iri padamu kak❤
ReplyDeletesaya iri kak :')
ReplyDeleteKak Tsana, usiaku masih 13 tahun, tapi aku senang menulis dan membaca. Aku punya blog untuk ditulisi pengalaman - pengalaman, aku punya platform wattpad untuk dituangi cerita - cerita, dan aku punya platform Instagram untuk sekadar membagi sajak dan puisiku.
ReplyDeleteAku tahu Kak Tsana dari toko buku. Buku Geez & Ann berhasil menyita perhatianku. Sayangnya, hari itu masih ada buku yang lebih bisa menarik perhatianku (mohon maaf ya, Kak!)
Namun, rasa penasaranku tak kunjung usai. Aku terus mencari sang "Rintik Sedu" hingga akhirnya berlabuhlah aku di Wattpad dan Instagram milik Kak Tsana. Aku berhasil dibius oleh untaian kata yang dibuat Kak Tsana.
Aku terinspirasi dari Kak Tsana. Tapi seperti kata Kak Tsana, jika kita mengidolakan seseorang, belum tentu kita bisa menjadi dirinya. Aku pun sadar, aku tidak dapat menjadi sehebat Kak Tsana. Tapi aku ingin menjadi penerus Kak Tsana! Hihihi ...
Oh iya, aku juga senang membaca karya - karya Sapardi Djoko Damono. Keindahan puisi - puisinya tidak dapat dijelaskan oleh kata. Terlalu indah. Dan untuk karya Pak Pram, aku senang dalam proses membaca dan mengenalinya lebih jauh. (Sebenarnya, sedari dulu aku sudah tahu siapa beliau, tapi belum pernah membaca karyanya)
Aku rasa, kita punya banyak kesamaan, kak. Haha, 'sok iye' banget, ya? :)
Tapi, I would love to meet you someday Kak Tsana. Dan berbincang - bincang layaknya kakak dan Pak Pram. Semoga Tuhan dan semesta mengizinkan.
Send lots of love to you.
Ah, maksudku usia 13 tahun tapi senang menulis dan membaca—maksudku minat menulis dan membacaku terlalu liar, tidak seperti anak - anak zaman sekarang seusiaku yang membaca saja sudah jarang. Bukan maksudku untuk bilang bahwa anak usia 13 tahun tidak bisa punya hobi menulis dan membaca, ya!
DeleteSemoga Kak Tsana tidak salah paham, hihi. Terlalu excited untuk mempublish comment tersebut, berharap sekadar dibalas Kak Tsana. Tidak dibaca dan dibalas pun tidak apa. Aku tahu Kak Tsana akan selalu berada di hati para pembacanya (termasuk aku) kapanpun dan dalam situasi apapun.
Xoxo.
Tsana, kau memang layak dengan nama itu. Kau layak untuk dipuji (:
ReplyDelete❤❤❤
ReplyDeleteSenang bisa membaca tulisan kakak. Kehangatan yang kakak rasakan saat berdialog dengan bung Soes juga dapat saya rasakan dengan membaca tulisan kakak, cerita yang kakak bagikan sangat luar biasa. Sesuai dengan arti nama kakak, kakak memang pantas untuk mendapatkan pujian.
ReplyDeleteSemenjak aku baca tulisan-tulisan kakak, aku menjadi sangat terinspirasi. Tulisanmu mengena di hati kak:)
ReplyDeletemembaca blog kak Tsana tentang Bung Soes (memanggilnya sesuai perintah), membuat aku ingin langsung bertemu dengan beliau.walaupun tak pernah bertemu sebelumnya, terasa seperti sudah kenal dekat dengan beliau dengan membaca blog kakak. terimakasih karna sudah berbagi pengalaman kakak ketika bertemu Bung Soes. jadi sayang❤
ReplyDeleteTerimakasih kak Tsana, terimakasih sudah membuat dunia saya meluas walaupun masih sedikit, yang jika di gambarkan belum sampai seluas nusantara. Terimakasih sudah membuat saya memiliki semangat baca kembali. Terimakasih untuk berjuta inspirasi yang telah kakak berikan. Terimakasih sudah mengubah paradigma yang saya miliki. Sejujurnya saya sangat ingin menjadi seperti kakak, tapi saya berpikir bahwa saya belum menjadi apaapa yang bisa menjadi seperti kakak. Tapi, benar kata kakak, jika mengidolakan seseorang belum tentu bisa menjadi seperti dia. Hingga saat ini, saya masih dalam pencarian untuk buku Geez dan Ann #2. Kemarin, selasa 19 Juni 2018 terakhir saya mengunjungi Toko buku terdekat dari rumah, Geez dan Ann habis, tak bersisa sedikitpun. Jadi ya begitu lah, saya tidak berhasil membawa cerita Berlin pulang kerumah�� tapi, setidaknya kakak berhasil membuat saya kembali rela ngubek ngubek toko buku, hehe. Kak Tsana, selalu jaga kesehatan dan harus selalu berkarya, ya kak? Saya sayang kakak, saya suka karya kakak. With ❤ untuk ikan paus kesayanganku
ReplyDeleteAh, Tsana...
ReplyDeleteKamu sungguh luar biasa.
Terima kasih :)
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteEntah bagaimana disaat membaca tulisan diatas, aku pun ikut senang, sampe senyum senyum loh bacanya kak tsan. Entah kerasa aja suasananya. Jadii sedikit berandai kalau semisal aku juga berada diposisi itu. Pasti jelas sangat beruntung dan menyenangkan berbicara dengan bung soes yang pemikirannya sungguh luas. Kamu beruntung kak tsan, terus semangat berkarya ya kak (peluk jauh) hehehe.
DeleteKetika baca tulisan ma tsana jadi nyesel banget lebih sering main hp drpd baca buku, jadi termotivasi gitu thank you ka
ReplyDeletewah beruntung sekali kak tsana bisa bertemu sekaligus berdialog dan berbagi pengalaman dengan bung soes:) jadi kepengen juga hihi terima kasih kak saya senang sekali bisa membaca tulisan tulisan kakak, pengetahuan saya sedikit demi sedikit bertambah karena pengalaman dan ilmu kakak. waktu saya tidak terbuang sia-sia dengan membaca tulisan kakak. jadi makin sayang♥
ReplyDeleteTerimakasih sudah mau berbagi sedikit cerita menakjubkan ini di sini kak. Saya merasa payah karena baru menemukan kak tsana dan blog ini. Tapi sekarang saya sungguh senang, karena akan merasa lebih payah lagi jika tak pernah menemukannya. So inspiring! :)
ReplyDeleteSaya nangis bacanya. Enggak tahu kenapa. Yang jelas ini bukan perasaan duka.
ReplyDeletemembaca tulisan kak tsana seperti sedang mendengarkan kak tsana bercerita disebelahku kak tsan,membaca ini pun aku selalu tersenyum,entah kenapa,bangga sama kak tsana aku,seorang yg hobinya menulis yg pandai memikat hati para pembaca nya,kak tsana itu panutan untuk memotivasi ku,pround of you kak,salam cinta dari calon anak sma ini❤
ReplyDeleteAh sayangku, ikan paus andalanku! Hanya dengan membaca tulisanmu aku sudah bahagia, senyum2 sendiri. Merasa bangga sekali menjadikanmu ma fav author, ma inspirator, ma motivator, ma role model. Ah pokoknya sukak & selalu dukung semua karyamu! Ditunggu preorder buku rahasia Geez & novel Kata! Terus adain talkshow & mng lagi ya kak tsan!
ReplyDeleteSalam sayang
rintiksedu addict
Ah, Kak Tsana. Gak bisa berkata-kata lagi, selalu sukak❤
ReplyDeleteSaya menangis membacanya. Saya iri. Iri tanda tak mampu. Ya, saya tak mampu seperti Kak Tsana untuk berkunjung ke sana. Ah, sudah malam, tidur saja lah.
ReplyDeletesebelum mengenal Kak Tsana aku sama sekali nggk tertarik membaca, lihat buku saja sudah malas.tapi setelah kenal, ya... walaupun sebatas tahu saja, aku jadi suka
ReplyDeleteSuka membaca maksudnya Kak:)
Jadi pengen ketemu bung Soes:))❤.
Kak tsana hebat, kagum dengan cerita kk yg slalu membuat hati saya luluh,gak nyesel saya menjadikan kk sebagai motivator dan inspirasi buat diriku dan juga untuk teman"ku,tetap berkarya kk,jangan biarkan haters" membuat karya kk berhenti,karna semenjak saya membaca karya" kk,ilmu saya semakin bertambah,aku juga pengen seperti kk,semoga kk slalu dalam lindungan allah agar bisa memberikan ilmu yg semakin banyak aamiin:)
ReplyDeleteKak Tsana,ini sudah tengah malam, lewat tulisan kakak, aku merasa kakak berada dekat di sampingku, sedang membacakan dongeng agar aku terlelap pulas❤
ReplyDeleteTerimakasih, Kak! Aku suka❤
Kak tsana, aku benar benar bangga sama kakak,terharu saat membaca percakapan kalian, dan sepertinya bung soes sangat kagum pada kakak. Aku baru menemukan penulis muda seperti kakak. Yang berkunjung kepada seorang penulis inspirator yang mungkin penulis muda lain tidak kenal, tapi kakak bertekad kuat untuk menemuinya. Orang orang yang kakak idolakan itu orang orang hebat semua, yang memiliki masalalu hebat, yang memiliki pemikiran hebat. Kakak itu penulis muda paling unik paling menyenangkan, paling baik dan paling mengagumkan yang pernah aku temukan. Sukses terus kak tsana❤❤❤❤
ReplyDeleteSemoga aku seberuntung kak tsana bisa bertemu orang orang seperti bung soes yang menceritakan banyak hal di selingi candaan, sukses terus kak tsana semoga bertemu kita nantinyaπ€
ReplyDeletesukses terus kak, aku senang membaca tulisan kakakπ
ReplyDeleteTerserah kak. Tulisanmu selalu bisa mengambil hati saya. Dan aku greget, kenapa tentang Blora -,-
ReplyDeleteNgulang bacanya lg jd iri;(
ReplyDeleteMengagumkan kakπ tetaplah sesederhana iniπππ
ReplyDeleteWah!! Pengen juga ke situ!!, Semoga ada kesempatan, kak.
ReplyDeleteTsana, sungguh saat membaca tulisan ini entah kenapa mataku berkaca-kaca.Membayangkan betapa serunya bung Soes bercerita pasti menyenangkan.Ah terimakasih telah membagikan pengalaman berhargamu ini,aku benar-benar ingin mendengar semua yang kau dengar langsung dari bibir beliau.
ReplyDeleteMata berkaca-kaca sekaligus tersenyum. Keren! Jadi ikut terhanyut saat membaca.
ReplyDeleteNa... Terimakasih ceritamu Na. Ingin bertemu langsung dgn Bung Soes. Dgn tulisanmu ini aku merasakan sesuatu Na, terimakasih sekali lagi.
ReplyDeletePadahal aku hanya membaca tulisanmu, tetapi aku sangat merasakan kehangatan antara Bung Soes denganmu Tsan. Rasanya sudah tak mampu berucap apapun ketika membaca semua tulisan-tulisanmu. Terlebih tentang hal ini, dimana kamu membagi kisahmu dengan Bung Soes di Blora. Terima Kasih Tsana, sangat banyak pengalaman yang kau bagikan. Always be the best writer Tsan❤
ReplyDeletePenulis yang membuat saya terbawa suasana, kata-kata yang sederhana membuat semua orang kagum dengannya termasuk saya,cerita-cerita yang slalu menyentuh membuat saya menikmati nya sungguh, semuanya serba sederhana ya itulah ka tsana❤️
ReplyDeleteKamu selalu menginspirasi ku kak
ReplyDelete❤❤❤❤❤❤❤❤
ReplyDeleteItu kota rumah saya kak.seharusnya kak tsana mampir ke rumah juga.
ReplyDeleteSaya telat membaca,memang.Tapi dari blog ini,saya yang awalnya menginginkan kota ini didirikan gedung bioskop,jadi tak ingin lagi.Bukan karena memang benar-benar tak ingin,karena saya tahu bioskop juga sangat dibutuhkan.Tapi,karena kota kami yg tak ada bioskopnya itu lebih sederhana daripada ada bioskopnya hanya pada keinginan,bayangan,pun mimpi.Salam
Terharu aku tuu
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteIri sekali. Ingin pula bertemu Bung Soes :")
ReplyDeleteBismillah, semoga bisa menyusul kesana
ReplyDeleteini sungguh menggugah hati, memotifasi, serta bangga bisa membacanya. "HIDUP HARUS BERANI" dan kamu tsana, suatu saat jika aku bertemu denganmu, akan kusetrum.
ReplyDeleteSaya sangat ingin kayak kak Tsana kemana ingin pergi pasti tergapai tanpa ada larangan orangtua
ReplyDeleteApa aku sudah terlambat membaca kisah menarik antara Tsana dan Bung Soes ini? Aku seperti menemukan cahaya kembali di sela kesibukan dan lelahnya pekerjaan. Sukses terus Tsana. Dan terima kasih atas semua karyanya.
ReplyDeleteTeruntuk Kak Tsana makasih ya untuk segala dunia kepenulisanmu yang buat aku tergila-gila. Aku akan selalu jatuh cinta dalam diksi sederhanamu yang entah fana atau nyata, tak ada bedanya. Tetap semangat menulis, Kak.
ReplyDeletekak tsana tulisan dan karyanya selalu membuat saya terinsprirasi dan takjud dengan rangkaian kata kata yang tak semua orang bisa ciptakan begitu unik dan bermakna sangat indah
ReplyDeletesukses selalu Aamiin
salam dari bandung
Setiap membaca tulisan Kak Tsana , rasanya seperti ingin menangis padahal tidak ada momen sedihnya. Seperti Gezz yang memang ada, aku juga merasa masa depanku juga ada. Padahal kemarin sore, aku baru menangis meratapi hidup ini tapi hari ini aku ingin tetap hidup, aku ingin pergi ke tempat tempat jauh dan bertemu banyak orang hebat. Tidak disini, tidak di kampung yang membuatku seprti dalam penjara dan tidak juga di tempat aku bisa menghabiskan waktu yang kusebut kamar. Aku ingin pergi, Jogja adalah tempat yang paling ingin kukunjungi, tempat yang sering kuceritan pada orang orang padahal aku belum pernah kesana. Ingin sekali mengunjungi ArtJogja yang akan ada setiap ulang tahun negeri ini. Salam kenal, Kak Tsana. Aku seseorang dari rimba Sumatera yang mengagumi dirimu.
ReplyDeleteWaaahh, semangat ya. Aku nggak tahu kamu. Tapi kayanya mimpi kamu hebat!
DeletePas tau ini di blora langsung senang karena ini kampung halaman papa saya:)
ReplyDeleteTsana, salah satu tokoh msyarakat yg buat saya iri. Bukan tentang paras ataupun kekayaan, tapi keunikan, hobinya, dan dirinya sendiri. Tulisan sederhana tapi menyentuh. Terima kasih, tsana
ReplyDeleteKak Tsana keren!
ReplyDeleteseruu bett si
ReplyDeleteSemoga bisa seperti Kak Tsana, bisa kesana dan dapat pengalamannya:)
ReplyDelete♡♡♡
ReplyDeleteKsk tsana, aku bisa juga nggak ya punya pengalaman bersejarah dan hebat kaya gini. Bagaimana bisa, masuk PTN aja aku susahnya setengah mati.
ReplyDelete
ReplyDeleteAku suka kak Tsana❤
My inspiration❤
ReplyDeleteAku iri kak, terbayang betapa hangatnya suasana di sana, ditambah lelucon pak soes, atau aku juga bisa panggil bung soes? Hehehehe
ReplyDelete